Kamis, 19 Januari 2012

Amanda

Dan senja datang. Matahari menabur jingga di ufuk, mempertontonkan keindahan sinarnya yang hangat. Cikuray yang perkasa, tegak angkuh menantangnya. Matahari pergi sekaki demi sekaki. Sembunyi ia di punggung gunung, membiaskan larik-larik kuning keemasan. Tenggelam. Benam. Hilang.
Dan malam datang. Hitam. Gelap perlahan merayapi bumi. Mengerangkeng kehidupan. Cikuray membisu dalam pekat. Tanpa matahari, langit tak mati. Tetap berseri bersama gemintang dan bulan perahu. Jauh di lembah, lampu-lampu mulai berpendaran. Nyala. Berkilau. Sekerlip kunang di kegelapan.
Kumandang adzan magrib menendang-nendang daun telinga, mengetuk-ngetuk pintu hati. Iblis-iblis menari di mata. Berteriak mengusir sejuta malaekat yang bertasbih di telinga. Macam petani mengusir burung dari sawahnya.
“Shalat dulu, Bang ?!”
“Eh...oh, ya... ya... Ayo !”, aku tergeragap. Anton dan tiga kawannya telah berdiri di sampingku. Di salah satu kaki Cikuray, tempat yang kami janjikan sebagai lokasi start untuk pendakian malam ini.


18.43
“Ton, coba periksa ulang perlengkapan kita !”
“Oke, Bang !” Anton segera membongkar ransel oranye-nya, diikuti ketiga kawannya, Bima, Dhipa, dan Bara yang membawa ransel dengan model dan warna sama. Oranye. Satu persatu isi ransel dikeluarkan. Tenda dum, sleeping bag, matras, kompor, gas, mesting, senter, caramantel, carabiner, kotak P3K, dan perlengkapan lainnya. Dari ransel Dhipa dikeluarkan berbagai bahan makanan. Beras, pop mie, telur asin, roti, coklat, biskuit, jeruk, apel, daging asap, sosis, dan makanan-makanan mewah lainnya.spontan aku berkomentar, “Kalian mau piknik ?”.
“Kita mendaki bukan untuk menyiksa diri atau menyengsara hidup. Itu kan yang Abang bilang dulu.”, Anton menanggapi sambil memeriksa isi ranselnya. Aku tersenyum dibuatnya. Aku ingat bahwa aku pernah menyampaikan doktrin itu dulu kala aku masih seperti Anton. Mahasiswa Pecinta Alam. Ya, kalau memang ada dananya, kenapa mesti menyengsara diri. Kita butuh energi banyak di sini.
“Alat komunikasi ?”, tanyaku ketika tak menemukan satu pun Handy Talky.
“Kami pakai ini”, serentak keempatnya menunjukkan R3100, yang kesemuanya berwarna Oranye.
“Di atas enggak ada listrik, Bung !”
“Jangan khawatir, kami membawa ini !”, mereka menunjukkan masing-masing 3 baterai cadangan. “cukup untuk sepuluh hari”
Segera kukeluarkan 7250 hitam legamku. Saling tukar nomor dan mencocokkan waktu.
“Oke ! Semua lengkap. Rapihkan lagi ! Kita berangkat jam delapan.”, dengan cekatan keempat yuniorku itu merapihkan kembali bawaannya ke dalam ransel masing-masing.
“Ini untuk Abang.” Bima menyerahkan kantung hitam padaku. Segera aku buka. Kaos, topi, bandana, senter dan pelples. Persis seperti yang mereka pakai. Lagi-lagi semua berwarna sama. Oranye.
“Thanks”. Kataku sambil memakainya satu persatu. Tempat air minum aku gantung di pinggangku.
Rrr....rrr....rrr...
Si hitam legam bergertar di saku jeansku. Aku memang terbiasa menyetelnya hanya dalam nada getar. Tanpa ringtone yang macam-macam. Ada SMS masuk. Nomor tak dikenal.


Ingin Kuungkap Rasa.. Tapi Kata Lain Bicara.. Ada Jeda Antara Kita.. Terlalu Jauh Tuk Saling Menemu.. Kuserah Pada Yang Kuasa.. Berbahagialah Engkau Kekasih..!


Sebuah sajak. Lumayan menyentuh. Maka aku balas dengan sajak juga.


Berserah, Langkah Yang Benar.. Tapi Mencoba Bukanlah Dosa.. Jeda Yang Jauh Bukan Kiamat.. Bahagia Bukan Tuk Sendiri.. Bersama Kita.. Mari..!
Send


“Lima menit lagi kita berangkat. Ayo bersiap !”
Keempat yuniorku dengan sigap menyiapkan dirinya masing-masing. Carrier 120 literan telah berada di punggung, dan lampu senter di dahi. R3100 mereka simpan di saku jaket, dengan kabel handsfree menyambung ke telinga.
Kami membikin lingkaran kecil dengan tangan saling menggenggam. Ritual kecil yang menjadi kebiasaan setiap kami akan melaksanakan pendakian. Sekedar mengheningkan cipta, menyiapkan mental, keyakinan dan keteguhan hati, sambil tak lupa berdoa kepada pemilik teguh  untuk keselamatan kami semua.


20.00
Tit…tit…tit…tit…tit…tit…….
Alarm HP kami semua berbunyi bersamaan. Tanda bahwa saatnya telah tiba bagi kami untuk memulai pendakian. Maka kami menutup ritual kami dengan ucapan amin. Lalu menarik nafas panjang dan membuangnya dengan teriakan keras untuk membuang segala ganjalan di hati. Dan kami pun memulai pendakian ini dengan melangkahkan kaki kanan dan ucapan basmallah. Sebuah kebiasaan yang sudah mendarah. Berlaku dengan sendirinya.
Kami berjalan menyusuri jalan kampung yang kecil. Di depan sana, dalam kepekatan malam, tampak kerlip kecil dari sebuah pemukiman. Perkampungan  terakhir yang akan kami lalui. Senter di dahi belum menjalankan fungsinya. Sinar temaram bulan perahu, masih cukup terang untuk membimbing langkah kami. Beruntung kabut tidak turun malam ini. Kami berjalan dalam diam. Dengan pikiran masing-masing. Dengan lamunan sendiri-sendiri.
Aku teringat ketika pertama kali melangkahkan kaki menuju ketinggian Cikuray. Dulu, waktu aku masih rutin mengenakan celana abu-abu, dan bergabung dengan klub pecinta alam sekolahku. Aku terkenang seorang perempuan cantik yang menemani pendakian kami malam itu. Linda. Linda Ekawati, SPd. Guru muda di sekolahku. Pembina klub pecinta alam kami. Guru sekaligus kakak dan sahabat kami, yang menanamkan semangat petualang dan pecinta alam di jiwa kami. ”Alam akan menerima kita dengan ramah jika kita memperlakukannya sebagai sahabat”, katanya malam itu. Dan aku selalu mengingatnya sampai sekarang. Maka ketika aku menjadi mahasiswa, yang pertama aku cari adalah basecamp pecinta alam di kampusku. Lalu aku bergabung di dalamnya, tentu saja setelah melewati serangkaian pendidikan dasar yang tidak mudah dan sungguh tak terlupakan.


20.28
Rrr…rrr…rrr…rr…
Si hitam legam bergetar di saku jeansku. Satu pesan diterima. Nomor yang tadi. Nomor yang tak kukenal.


Kamu Yakin, Van?.. Padamu Aku Yakin.. Tapi Tak Pada Diri Sendiri.. Sungguh Aku Ragu.. Aku Takut, Van.. Aku Hilang Arah, Van.. Di Aku Hanya Ada Gelap..


Lho, kok Van ? Siapa Van ?


Van?.. Siapa Yang Kau Maksud? Dan Siapa Engkau? Aku GARDIA.. Dari Mana Dapet NomorKu?
Send

Oh, ya?.. Kamu Bukan Ivan?.. Aduh, Maaf.. Aku AMANDA.. No Kmu Kudapat Dri DESSY.. Katanya No Baru Ivan.. Kamu Di Mana?.. Aku Di Bandung.. Sekali Lagi Maaf, Yach!
Reply

Its Okay.. Ga Papa, Kok.. Aku Malah Seneng Dapet Temen Baru.. Aku Di Garut.. Skrg Lgi Mendaki Cikuray.. Btw, Siapa DESSY?
Send

Oh, ya?.. Wah, Asyik.. Boleh Donk Minta Edlweisnya.. Selamat Mendaki..
Reply

Thanks.. Edelweisnya Aku Gak Janji..
Send


Dan seterusnya. Jadinya selama perjalanan aku ditemani Amanda melalui SMS-SMSnya. Kami saling kirim sajak-sajak pendek dan humor-humor kecil. Juga membuka diri untuk saling mengenal. Sekarang ini, Amanda tercatat sebagai mahasiswi sebuah Universitas Pendidikan di Bandung.


AkuNgambilFisika..SekarangDahSemesterLima..Gardia?


Aku pernah belajar komputer di Bandung. Dan sekarang hanya menjadi seorang penganggur yang banyak acara. Kupikir tak ada salahnya menjadi penganggur. Aku masih punya seabgreg kegiatan untuk mengisi hariku. Mengisi waktu-waktu luangku. Menyalurkan hobi. Daripada menjadi pegawai negeri rendahan yang suka membuang waktu percuma dengan nongkrong dan bergosip di kantor. Atau menjadi pejabat keparat yang sukanya mencuri uang rakyat dari kas negara. Atau menjadi garong yang selalu diuber-uber aparat.
Dengan mengantongi ijazah pendidikan komputer dari sebuah universitas ternama, tentu tidak sulit bagiku untuk mendapat pekerjaan. Apalagi tulisan Cumlaude terpampang jelas di dalamnya. Tapi, entahlah, sejauh ini aku belum tertarik untuk terikat dengan rutinitas kerja kantoran. Aku masih ingin bebas. Menghirup udara sesuka hati. Merasakan belaian hangat hari, menikmati dekapan dingin malam hitam. Menyaksikan bintang-bintang dan bulan perahu atau purnama.
***


Ruang tengah sebuah rumah di pinggiran kota Bandung. Perempuan setengah baya, di samping jendela kaca, menancapkan matanya ke tayangan sebuah sinema elektronik dari satu statsiun televisi swasta. Di luar rumah, malam hanya menjadi sebuah nama, karena benderang nyala lampu mengusir gelapnya. Lampu-lampu teras rumah, lampu-lampu jalan dan lampu kendaraan saling berlomba mengadu nyala.
Perempuan setengah baya masih terpaku di depan pesawat televisinya. Sesekali matanya melirik ke pintu depan yang terkunci. Ketukan halus yang ditunggunya tak kunjung terdengar. Pesawat telepon merah jambu di sudut ruangan, sudah terlelap sejak sore tadi. Di jendela, ada bulan perahu berkaca, mematut diri. Seberkas cahaya merah, berpendar di sisi kanannya. Milik sebuah bintang kecil.
Perempuan setengah baya di kursi goyang. Lamunnya mengembara, ke dahan-dahan kenangan, ranting-ranting nostalgi yang berserak di pelataran jiwanya. Anaknya tersayang belum pulang dari Cikuray.
“Biasana mah wayah kieu hidep ngetrokan panto lalaunan, Anaking. Atawa nelepon ngabejakeun hidep geus mulang.”(Biasanya gini hari kamu membuat ketukan halus di pintu, Anakku. Atau menelpon memberi kabar kepulanganmu)
Perempuan setengah baya di kursi goyang. Mata bundarnya mulai lelah. Di sela wajahnya yang gelisah, seulas senyum tersungging di bibir. Perempuan setengah baya semakin lemah, terkulai di kursi goyangnya.
Trit…tit…tiiit…Trit…tit…tit…Trit…tit…tit…trit…tit…tit…
Perempuan setengah baya terlonjak kaget dari kursi goyang.
Trit…tit…tiiit…Trit…tit…tit…Trit…tit…tit…Trit…tit…tit
Gontai ia berjalan ke kamarnya. Mencari sumber suara. Suara pesan masuk telepon selular. Lampu XL menerangi kamarnya. Perempuan setengah baya langsung menuju lemari kayu besar di seberang tempat tidurnya. Membuka pintu lemari dan mendapati Nokia-nya dalam keadaan mati. Dahinya berkerut.
Trit…tit…tit…tiiit…Trit…tit…tit…Trit…tit…tit…Trit…tit
Nokia-nya masih juga dalam keadaan mati. Tapi bunyi itu jelas sekali keluar dari ponselnya. Hati-hati, perempuan setengah baya menyalakan ponselnya. Dan bunyi itu tiba-tiba hilang. Sunyi meliputi seisi kamarnya. Dibukanya folder pesan di ponsel itu. Kosong. Lalu dichecknya isi pulsa.


Sisa pulsa Rp.175. Aktif s/d 31/08/04..@


Perempuan setengah baya tertegun di depan lemari kayu. Telepon selular ia genggam di tangan kanan. Perempuan setengah baya ……
***


01.27
“Alhamdulillah…! Thanks Allah …!”
Sebuah ritual kembali mewarnai pendakian kami. Kali ini sebagai tanda syukur atas keberhasilan kami menyentuh puncak Cikuray dengan selamat. Setelah mendirikan tenda, dan membereskan perlengkapan, kami segera berkumpul membuat api ungun dan duduk mengelilinginya. Dhipa mengeluarkan beberapa bungkus cemilan dari ranselnya. Juga mesting dan kompor gasnya. Kita saling berbagi cerita. Berbagi pengalaman.
Rrr…rrr…rrr…rr…


Allow Gardia.. Dah Nyampe Puncak Blon?.. Kalian Baik2 Aja Kan?
Reply


Baru Aja.. Qta Lagi Nikmatin Kopi Panas Sambil Mandang Bintang Di Langit.. Ada Bulan Perahu Berlayar Di Sana..
Btw, Malam Telah Larut, Anak Perawan Kok Belum Berselimut?
Send


Sama Seperti Kamu.. Aku Sedang Mandang Langit Hitam.. Eh, Kamu Lihat Bintang Merah Di Sisi Bulan Perahu ? Itu Punyaku ! Jangan Dicuri, Ya!


Reflek kepalaku mendongak, mencari bintang merah yang Amanda bilang. Oh, God. Dia benar, di sisi kanan bulan perahu ada bintang dengan sinar temaram kemerahan. Cantik sekali. Seperti … Linda Ekawati, Spd.


02.05
“Saatnya tidur. Anton giliran jaga pertama”
Kami segera masuk ke kantung tidur masing-masing. Tidur di samping api ungun. Telentang di bawah langit biru berbintang. Ada bulan perahu berlayar di sana, dan bintang merah temaram di sisi kanannya. Anton memainkan My Hearth Will Go On  dengan harmonikanya. Menyentuh sekali. Sepertinya dia sedang patah hati. Dia selalu begitu setiap kali patah hati. Aku ingat ketika Hesti meninggalkannya. Selama seminggu, setiap malam dia selalu memainkan lagu itu. Yang membuatku kagum, Anton tidak pernah terganggu aktifitasnya hanya karena patah hati. Dia selalu menikmati kesedihannya sendirian. Seperti sekarang ini.
Rrr…rrr…rrr..rr..


Hai.. Aku Ga Bisa Tidur.. Aku Kok Jadi Kepikiran Kamu Terus.. Kmu Tu Orangnya Kayak Gimana Sich?.. Jadi Penasaran..
Reply


Tuhan Akan Mempertemukan Kita.. Suatu Saat.. Di Suatu Tempat.. Di Senyum Bahagia.. Semoga..!
Send


Kapan2 Kalo Gardia Ke Bdg, Kabari Manda, Yach!.. Manda Tunggu Hadirmu.. Pagi.. Siang.. Senja.. Atau Malam Sekalipun.
Reply


Bulan Perahu Mendengar Mimpi Kita.. Dan Angin Kan Meniupnya Ke Pendengaran Tuhan.. Semoga!
Send


Anton masih tenggelam dalam harmonikanya. Menghikmati malam dalam kesendirian. Berkawan bulan perahu dengan bintang merah di sisi kanan. Sementara Bima, Dhipa, dan Bara telah berangkat ke mimpinya masing-masing. Aku pun segera lena dalam belaian lembut harmonika Anton, yang kini memainkan I Will Spent My Life Time Loving You-nya Tina Arena dan Mark Antony.


05.32
“Bang, subuh dulu !”
Bara, yang kebagian piket terakhir malam ini, menghentikan mimpiku. Dhipa sedang menjerang air sambil membakar daging asap, untuk sarapan pagi ini. Bima dan Anton masih sembunyi di balik kantung tidurnya.
“Bangunkan yang lain, Bar !”
Aku beranjak dari kantung tidurku. Di ketinggian Cikuray, sulit mendapat air. Maka aku berwudhu dengan titik-titik embun yang bergelayutan di ujung daun. Selesai shalat, aku segera bergabung bersama Dhipa dan Bara. Secangkir nescafe krim panas menyambutku. Anton dan Bima masih shalat.
Rrr…rrr…rrr..rr..


Di Muka Pintu Masih Bergantung Tanda Kabung... Seakan Ia Tak Akan Kembali... Memang Ia Tak Kembali... Tapi Ada Yang Mereka Tak Mengerti... Mengapa Ia Tinggal Diam Waktu Berpisah.. Bahkan Tak Ada Kesan Kesedihan Pada Muka Dan Mata Itu Yang Terus Memandang Seakan Mau Bilang Dengan Bangga : Matiku Muda *)


06.38
“Bang, saya mau survei ke Cihanyawar. Jam 3 saya kembali.”
“Oke. Jangan lupa bawa air yang cukup dari sana, Ton !”
“Siap, Bang.”
“Bara, temani Anton. Dhipa ikut saya survei lokasi untuk navigasi dan survival. Bima tunggu di sini. Masak yang enak, ya !”
“Siap, Bang !”, ketiganya menjawab serentak.
“Kita berangkat setelah sarapan”
Dhipa mengeluarkan sebungkus roti tawar dari ranselnya. Kami sarapan roti dengan daging asap sebagai lauknya. Cangkirku telah berganti isi dengan susu hangat.


07.00
Anton dan Bara meninggalkan perkemahan. Mereka berjalan ke barat, menuju sebuah air terjun. Orang-orang menyebutnya Curug Cihanyawar. Sebuah tempat yang lumayan asyik untuk sekedar refreshing. Air terjunnya kecil dan tidak terlalu tinggi. Hawanya sejuk. Di sekelilingnya banyak ditumbuhi pepohonan, dan perdu-perdu. Rencananya tempat itu akan kami jadikan lokasi ikat syal . Aku dan Dhipa menyiapkan perlengkapan navigasi, lalu berangkat ke arah timur.
***


Curug Cihanyawar, menjelang siang. Sepi. Mungkin karena bukan hari libur, jadi tidak ada orang yang berkunjung ke sana. Hanya ada seorang Bapak Tua dan isterinya yang sedang mencangkul ladangnya di sebelah bawah air terjun, dan seorang perempuan muda duduk di saung tidak jauh dari air terjun. Anton dan Bara langsung menuju kubangan tempat curahan air terjun. Titik-titik air memerciki tubuh mereka, memberi segar pada yang kelelahan sehabis melakukan perjalanan jauh. Mereka menanggalkan pakaiannya, lalu berendam.
Puas berendam, mereka segera mengenakan kembali pakaiannya, dan melaksakan tugasnya. Mencari lokasi untuk acara ikat syal. Akhirnya mereka sepakat bahwa acara akan dilaksanakan di bawah curahan air terjun. Bara mengisi jerigen dengan air langsung dari curahan air terjun.
“Lagi kemping di mana, Mas ?”, suara lembut seorang perempuan, cukup membuat Anton dan Bara terkejut.
“Eh, hai…anu eu… di atas. Di Cikuray.”, Anton menjawab sedikit terbata. Dia terkesima melihat kecantikan perempuan yang tiba-tiba sudah berdiri di sampingnya. Tubuhnya semampai. Lebih tinggi dari dirinya. Perempuan itu memakai jaket bertuliskan sebuah Universitas Pendidikan di Bandung.
“Oh… kenalkan, saya …… Amanda”
“Anton”
“Saya Bara”, segera naik setelah mengisi penuh jerigennya.”Lagi ngapain sendirian di tempat sepi kayak gini ?”
“Tidak. Saya tidak sendiri. Teman-teman saya sedang jalan-jalan di kebun teh di atas sana. Saya kecapean dan disuruh istirahat dulu di sini. Tapi sampai sekarang mereka belum kembali.”
“Sudah berapa lama mereka pergi ?”
“Lima hari”
“Apa ?”, Anton dan Bara berteriak serentak.
***


15.24
Anton dan Bara belum kembali ke perkemahan. Bima sudah menyiapkan nasi liwet, goreng sosis, sambal, dan lagi-lagi daging asap bakar. Dhipa tampaknya sudah sangat lapar.
“Sudah, kita makan duluan saja. Buat mereka kita pisahkan saja.”


17.30
Anton dan Bara masih belum kembali. Cemas mulai membayang di wajah kedua yuniorku. Aku sendiri sebenarnya sangat khawatir, namun aku tak mau membuat mereka panik. “Coba kau hubungi lagi mereka, Bim !”.
Bima dan Dhipa segera mengambil R3100 masing-masing. Bima mencoba memanggil Anton, dan Dhipa memanggil Bara. Tulalit. Keduanya masih tidak bisa dihubungi. Sedang tidak aktif atau luar jangkauan.
“Tadi pagi mereka baru ganti baterai, jadi tidak mungkin kalau habis. Jaringan di sini cukup kuat, tidak mungkin di luar jangkauan. Ke mana mereka ?”, bathinku cemas. Aku mulai membayangkan hal-hal buruk yang mungkin menimpa mereka. Mungkin jatuh saat menuruni lereng, atau kesasar, atau dimangsa binatang buas atau …… . Aku tak berani membayangkan hal yang buruk lagi yang menimpa mereka. Aku hanya bisa berharap dan tak henti berdoa agar mereka selamat. Semoga Tuhan tak tuli dan mendengar doaku.
“Dengan atau tanpa mereka, jam delapan kita turun. Sekarang, kita pack perlengkapan.”
Rrr…rrr…rrr..rr..
Masih Di Atas?... Kapan Turun?... Keep In Touch, ya! I will Be Here And Waiting For You... Take Care, Boy!
Reply


Masih... Baru Bersiap Turun.. Dua Kawanku Belum Kembali..
Send


01.13
Kota mati. Sepi. Tak berpenghuni. Lampu-lampu jalan menyambut hadirku. Satu dua lelawar melebarkan sayapnya. Menghikmati kesunyian kota. Kaki-kaki lesu kami seret ke arah barat. Sebuah taman kota. Alun-alun. Lapangan lega di depan sebuah masjid megah. Lampu-lampu taman berkerlap-kerlip. Indah. Pelita di hitam pekat. Tubuh-tubuh lunglai hempas di bangku taman. Bangku-bangku yang terbuat dari campuran pasir dan semen. Melempar lelah ke alam mimpi. Ke negeri antah berantah yang entah di mana.
Tak jauh dari tempat kami, bergelimpangan tubuh-tubuh kurus dan lusuh. Tanpa selimut. Beralaskan koran dan sobekan kardus. Tunawisma. Mereka menitipkan mimpinya pada bulan perahu dan bintang merah di sisi kanannya. Di seberang sana, rumah Tuhan berdiri megah dengan lampu-lampu benderang. Teras keramiknya terlarang bagi tubuh-tubuh dekil.
Anton dan Bara belum juga mengabarkan keberadaannya.


05.47
Rrr…rrr…rrr..rr..
Si Hitam Legamku bergetar. Sebuah panggilan. Bara. Bara memanggil.
“Hallo !”
“Bang, kami di rumahsakit. Anton pingsan. Belum sadar sampai sekarang”
Oh, God……Segera kuhentikan mimpi kedua yuniorku. Kami meluncur ke rumah sakit. Dan kudapati Anton terbaring tak berdaya di ranjang putih. Bara tertduduk lesu di sampingnya.
“Kami bertemu seorang perempuan cantik. Dia ditinggal kawan-kawannya. Kami bermaksud mengantarnya sampai ke jalan raya, tapi dalam perjalanan tiba-tiba dia berubah menjadi asap dan menghilang tanpa bekas. Anton kaget dan terpeleset. Dia jatuh dan pingsan”
“Kenapa kalian tak menghubungi kami ?”
“HP kami tiba-tiba mati. Baru nyala lagi tadi”
***


Kediamanku. Seminggu kemudian. Heran. Dalam seminggu ini, Amanda tak bisa kuhubungi. SMS-SMSku tak ada yang sampai. Semua pending. Setiap kupanggil selalu dijawab Veronica. Kemana gerangan kawan baruku itu.
Rrr…rrr…rrr..rr..


Hai.. Pa Kabar?.. Kangen Ya?.. Kamu Nelpn Aja Deh Ke Rumah.. Ni Nomornya.. (022)2009xxx
Reply


Iya Nih.. Kemana Aja Sich?.. Susah Bgt Dihubungi.. Aku Ada Rencana Ke Bandung Minggu Ini.
Send


Rrr…rrr…rrr..rr..


Pending


Lho, kok pending lagi. Padahal jelas-jelas barusan dia yang nge-SMS. Oke, Manda. aku ikuti maumu. Aku telpon kamu di rumah sekarang juga.
Tuut…tuuut…tuuut… Tersambung.
“Hallo !”, suara seorang perempuan setengah baya. Mungkin ibunya.
“Assalaamu’alaikum. Amandanya ada, Bu ?”
“Amanda ?”, tampak ada nada kaget di suaranya.”Oh, Amanda tidak di sini lagi. Adik ini siapa, ya ?”
“Saya Gardia. Temannya. Barusan Amanda nge-SMS saya dan menyuruh saya nelpon ke sini.”
“Jangan bercanda kamu, Dik. Berapa nomor HP-nya”
“0856256xxxx. Memang sekarang Manda tinggal di mana, Bu ?”
“Betul, itu nomor Amanda. Sekarang dia di Cikutra.”
“Apa di sana ada telpon ? HP-nya tak bisa dihubungi.”
“Sudah berapa lama Adik kenal Amanda ?”
“Seminggu yang lalu ketika saya sedang mendaki Cikuray. Amanda salah kirim SMS ke nomor saya.”
“Oh … tidak mungkin……”, suaranya kembali menunjukkan rasa kaget. “Amanda sudah meninggal, Dik. Dua minggu yang lalu …… di … Cikuray.”
“Apa ?”, kagetku bukan alang kepalang. Aku terdiam beberapa jenak. Tidak mungkin. Tidak mungkin, pikirku. Mencoba menenangkan gebalau di hati. aku tidak percaya. Sama sekali tidak percaya. “Jangan bercanda, Bu. Lantas siapa yang selama ini nge-SMS saya ?”
“Ibu tidak bercanda. Amanda sudah meninggal dua minggu lalu. Jasadnya dimakamkan di Cikutra. Dan sejak itu HP-nya ada tersimpan di lemari ibu dengan sisa pulsa hanya Rp. 175,-“
Oh, God ……






*) Petikan sajak Ziarah karya Soebagyo Sastro Wardoyo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tulisan Petingan