Selasa, 17 Januari 2012

PULANG

Seorang pria dengan tubuh tinggi besar –melindungi matanya dengan tangan kanan dari sorot matari sore yang menyilaukan– keluar dari pintu gerbang sebuah lembaga pemasyarakatan di pinggiran kota. Rambut gondrong sebahu dibiarkan tergerai dan meriap ditiup angin. Pun rerambut di wajahnya dibiarkan tumbuh subur. Hitam. Lebat. Memberi kesan galak. Jagoan.
Pakaian yang melekat di tubuhnya memperkuat kesan urakannya. Blue jean belel. Oblong hitam. Sepatu jungle. Jaket jean yang juga belel ditenteng di tangan kiri.
Merdeka. Bebas. Kembali ke dunia luas. Alam lepas yang penuh corak dan ragam. Warna-warna berpendaran. Aneka. Dibangunnya sujud di pelataran gedung tua -yang bertahun dia huni bersama puluhan berandal, garong, pembunuh, penipu dan koruptor banci- di atas jaket jean belelnya. “Nuhun, Gusti !”
Dalam sujudnya, hadir sesosok tua dalam pakaian serba putih. Seorang Kiai. Kawan satu selnya yang dijebloskan dengan tuduhan menjadi kaki tangan teroris. Sulit dipercaya. Tidak masuk akal. Pamohalan. Seorang tua yang tak pernah lepas berdzikir –Tuhannya selalu di hati. Di mulut. Di mata. Kuping. Hidung. Tangan. Badan. Kepala. Perut. Kaki– tidak mungkin tega menghilangkan hak hidup ratusan orang yang tak berdosa. Bahkan untuk menepuk mati seekor nyamuk yang mencuri hidup di darahnya sekalipun, ia tak sampai hati. Tapi garis nasib berbicara lain. Nyatanya orang tua itu dipaksa mendekam dalam kamar gelap sebagai teroris.
Lazuardi di atas ubun-ubun kepalanya menggemakan ashar. Mengusir bayang orang tua di sujudnya. Kiai yang dituduh teroris. Bangkit ia. Mata mengembara. Menyapu kolong langit. Orang-orang lalu lalang. Tak peduli. Tak ada lambai kerinduan dari para penyambut. Kerabat. Sahabat. Kawan dekat. Hanya pepohon besar menarikan cemooh bersama sepoi angin. Daun-daun tua berguguran diterbangkan bayu lalu hinggap dan mengering di tanah berdebu.
Dipandangnya gedung tua kokoh di hadapannya untuk penghabisan kali. Sekedar mengukir nostalgi di memorinya. Bahwa dirinya pernah tinggal di sana. Puluhan purnama. Ribuan senja. Ribuan pagi. Bahkan hampir dilupanya warna senyum matahari. Mega-mega di wajah langit. Tarian padi dan nyanyian pipit ditingkahi gemericik air di sela bebatu di kali. Debur ombak tak henti berusaha meluruhkan keangkuhan batu karang di bibir pantai. Deru motor trailnya di jalanan lurus kotanya. Atau tawa genit perempuan-perempuan cantik pencari lembar-lembar rupiah.
“Gusti, tungtun diri ka jalan Anjeun !”, teriaknya lantang. Di hati. perlahan tapi pasti, ia mulai melangkah. Menjauh. Menjauh. Menjauh. Meninggalkan segala sejarah kelam masa silam. Ia terus berjalan. Terus. Terus. Terus. Lalu berhenti di di ujung senja. Tiba di bibir sebuah kota. Sunyi. Kosong. Mati. Kehilangan tanda. Kotanya.
Di hitam putih trotoar pembangunan kota, nyaris tak ada kehidupan. Semua serba aturan. Satu dua orang berjalan santai di atas lantai keramik. Di trotoar. Jalanan lengang. Hanya satu dua kendaraan lalu-lalang. Di beberapa tempat tampak aparat berseragam. Tegak. Berjaga. Barisan pencari sesuap nasi tak ada lagi. Program kebersihan kota. Terlarang bagi gerobak-gerobak reyot. Bagi stan-stan beratap terpal. Bagi apapun yang dianggap sebagai penyebab kesemrawutan kota. Program penataan kota dari penguasa baru.
Sebatang kretek dia keluarkan dari saku jaket. Disulut. Terus berjalan. Tak henti. Matanya liar. Kagum ia pada keteraturan kota. Gedung-gedung baru. Gedung-gedung lama yang sudah direnovasi dan dialih fungsi. Gedung-gedung bank. Pertokoan. Tanpa kakilima yang bikin kotor, tapi kota tampak hidup dalam teriaknya. Terus berjalan. Tak henti. Menyususri kota yang sunyi. Hari hampir mati. Lampu kota mulai berpendaran. Di pinggir jalan. Di depan pertokoan. Di taman-taman. Di halaman gedung. Satu. Satu. Menyala.
Di depan sebuah gedung mewah langkahnya terhenti. Sejenak. Memuaskan matanya memandang keangkuhan gedung megah di hadapannya. Gedung bertingkat dengan arsitektur modern. Sebuah bank pemerintah. Baru selesai di bangun. Berdiri tegak di atas puing-puing sejarah. Padang Boelan. Saksi bisu sejarah pembangunan kota ini. Sebuah cultural heritage peninggalan pendiri kota ini. Bangunan dengan arsitektur unik yang dibangun puluhan tahun silam. Telaga bening menggenang di sudut-sudut matanya. Terkenang masa kecil dulu. Bapaknya sering mengajaknya ke sana. Seperti juga ke beberapa heritage lain di kotanya atau di luar kota. Di dalam dan luar negeri. Bapaknya seorang arsitek yang sedang mencoba meneliti dan mendalami bangunan-bangunan bersejarah dengan arsitektur unik.
“Dulu di halaman gedung ini ada sebatang pohon besar yang berusia lebih tua dari gedungnya. Aku dan Ayah suka sekali duduk di bawahnya. Di akar-akarnya yang menyembul di atas tanah.”, kenangannya masih berlanjut. Melayang. Melompat dari ranting ke ranting nostalgi. Terbang. Mengawang. Mega. Langit. Bintang-bintang. Bulan tiga perempat.
Senandung Magrib menghentikan lamunnya. Perjalanannya berlanjut. Dicarinya rumah Tuhan di antara berjejalnya pertokoan dan rumah tinggal. Dibangunnya sujud di atas sajadah merah. “Gusti, tampi ieu sujud. Tobat abdi.” Bisiknya di kaki Tuhan. Lirih. Selirih harapannya untuk dapat terus melangkah di jalan-Nya. Sepuluh tahun masa kanak dia habiskan dalam kepolosan bocah yang tak kenal arti hidup dan kehidupan yang sesungguhnya. Didekap dengan kemanjaan. Kemewahan. Kemudahan. Sepuluh tahun berikutnya, masa remaja hingga menjelang dewasa. Hari-hari diisi dengan kekosongan. Hati yang sunyi. Sepi. Kehilangan kasih sayang. Kehilangan jatidiri. Labil. Pencarian. Kenakalan demi kenakalan. Cenderung mengarah ke tindak kriminal. Keluar masuk tahanan di kantor polisi. Tawuran. Pesta minuman keras. Obat-obatan terlarang. Dan …… pembunuhan. Ya, pembunuhan itu. Peristiwa sadis yang menggiringnya ke sebuah rumah tahanan selama belasan tahun. Narapidana. Pesakitan. Satu cap yang tak mungkin hapus dari wajahnya. Seumur hidup. Hitam. besar. Tebal. Gelap. Halimun. Sepuluh tahun hidup tanpa cahaya di penjara. Hanya ada angkara. Marah. Dendam. Benci. Entah kepada siapa. Hingga satu malam menjelang dinihari di awal tahun ke sebelas, mimpinya terhenti oleh senandung Al Kahfi yang mengalun merdu dari mulut seorang lelaki renta yang baru masuk sore harinya. Kiai yang dituduh teroris. Lembut. Sejuk. Indah. Merasuk ke dalam darah. Mengaliri segenap tubuhnya.
Malam-malam berikutnya, pendengarannya selalu dimanja dengan senandung ayat-ayat suci. Menyejukkan kalbu. Menyucikan pikiran-pikiran iblis yang bertahun mengerami hatinya.
Beberapa bulan kemudian, dibangunnya sujud yang pertama dalam hidupnya. Sujud pertama. Dengan bimbingan orang tua teman satu selnya. Kiai yang dituduh teroris. Lalu puluhan sujud dibangunnya. Berulang. Berulang. Berulang. Ratusan sujud. Ribuan sujud. Satu perubahan besar terjadi dalam dirinya. Dia merasa jiwanya begitu tenang. Emosinya stabil. Pembawaannya yang urakan terbang ke negeri antah berantah. Wajahnya selalu tampak bersih dan berbinar. Betapa sujudnya telah memberi pencerahan pada jalan hidupnya yang selalu salah dan penuh dosa-dosa. Menyibak kabut hitam yang menabiri hatinya.
Dan malam menari. Pria itu mengakhiri sujudnya. Lapar yang bertasbih di perut menuntun langkahnya ke sebuah pusat jajanan serba ada. Sebuah lokalisasi pedagang jajanan. Sejauh mata memandang, tak ditemuinya satu pun pedagang jajanan kaki lima di sepanjang trotoar keramik itu. di pintu masuk pusat jajanan itu ia berhenti sejenak. Ragu-ragu. Disapunya seisi ruangan dengan matanya. Jaladri bergemuruh dalam dadanya. Genderang tak henti bertalu. Memainkan irama ragu. “Akankah mereka menerima hadirku ? Mantan narapidana. Pesakitan. Penjahat. Pembunuh.” Gelisah memperkosa hatinya. Bayang-bayang hitam kelam masa lalu berkelebatan di kelopak matanya. Diedarkan pandangannya sekali lagi. Orang-orang duduk tenang di kursinya. Tak peduli. Asyik dengan temannya atau dengan makanan dan minuman di hadapannya. Tapi meja-meja itu hidup dalam matanya. Tertawa gelak. Mencemooh. Menuding. Ubin-ubin berlarian. Menjauh. Enggan menerima tapak kakinya. Didengarnya dinding tembok dan tiang-tiang kayu bersenandung. Menyanyikan cemooh. Mempuisikan kebencian dengan ribuan matahari. Dibalikkan badannya dan bersiap melangkah pergi. Tak peduli cacing-cacing yang berdemonstrasi di perutnya meminta jatah makan.
“Mangga, Kang. Di lebet aya meja kosong !” sebuah tawaran. Ramah sekali. Kembali diputar badannya. Seorang pria muda tersenyum “Mangga, Kang !” Diikutinya langkah pria muda pelayan itu. dia mendapat tempat yang sangat spesial. Sebuah meja di sudut ruangan. Single. Agak terlindung. Cocok untuk bersunyi. Menyendiri. Dulu dia sering datang ke tempat ini. Bersama kawan-kawannya. Atau lebih tepat bila disebut pengikutnya. Dia yang traktir. Selalu. Hanya dia yang punya kesempatan untuk itu. Putra seorang arsitek nomor satu di negeri ini. Ibunya seorang anggota parlemen di tingkat propinsi. Wakil dari sebuah partai besar yang ketuanya terlibat kasus korupsi terbesar di negeri ini. Kesibukan kedua orang tersayangnya tak terbantahkan. Jadilah ia anak yang kehilangan kasih sayang. Perhatian. Kehilangan pegangan. Kehilangan kontrol. Segala fasilitas, kemewahan, kemudahan dan uang saku berlebih tak cukup membuatnya bahagia. Dia butuh cinta. Dia butuh belai kasih. Dia butuh perhatian. Dia ingin bila ia pulang terlambat, ada orang yang menanyakan keterlambatannya. Dia ingin bila ia mendapat masalah, ada yang bisa diajak bicara. Mengadu. Mengeluh. Dia ingin ada yang memberinya puji ketika pulang membawa raport dengan hasil memuaskan. Dia ingin ini. Dia ingin itu. Ingin. Ingin. Ingin. Hanya ingin. Hanya. Kedua orangtuanya tak pernah peduli. Mereka merasa telah melaksanakan tanggung jawab dan kewajibannya dengan mencukupi keperluan hidupnya sehari-hari.
Maka dia, si anak malang itu, lari ke jalanan. Mencari kompensasi. Mencari pelampiasan. Dengan uang sakunya, dia beli segala keganasan dan kekejaman kelompok anak jalan. Dibelinya belai cinta kasih gadis-gadis cantik yang angkuh. Dibelinya kesunyian ekstasi dan ketololan botol-botol alkohol. Tidak sedikit darah yang mengalir. Memerahi uangnya. Tak peduli. Ia tak pernah peduli. Hanya satu hal yang tak pernah dilupanya. Pesan kakeknya dalam obrolan santai di beranda belakang rumah sang kakek, beberapa hari sebelum meninggal.
“Jalu, naon cita-cita hidep teh?”
“Hoyong janten pilot, Ki”
“Alus tah kahayang tēh. Tak ta gē hidep kudu diajar sing bener, ngarah pinter. Tong poho, Jalu, diajar sing junun, heug ?!”
“Mangga, Ki !”
Ya, belajar. Dia tak pernah lupa belajar. Dia selalu menyisakan sedikit waktunya untuk belajar. Dia ingin menjadi pilot. Ingin memberi kebanggaan kepada kakeknya di langit. Kepada ibunya di parlemen. Kepada bapaknya yang entah di mana. Namun apa mau dikata, nasib ternyata berbicara lain. Suatu siang sepulang dari sekolah membawa ijazah dengan hasil terbaik, didapatinya seorang pria telanjang bergerak ritmis di atas tubuh ibunya yang juga telanjang di atas ranjang di dalam kamar. Bukan. Pria itu bukan bapaknya. Dia adalah pimpinan partai dimana sang ibu tercinta  bergabung. Seketika itu pula darah bergolak di ubun-ubun kepalanya. Dicabutnya belati pemberian kawannya. Tanpa banyak kata, belati haus darah itu bersarang di leher pria itu. mati seketika. Darah memerahi ranjang maksiat itu. jerit ibunya tak terkatakan. Tapi yang nampak di matanya bukan lagi ibu tercinta yang pernah menyusuinya. Telah hilang dari matanya, bayangan pengandungnya yang pada purnama kesembilan dia robek kemaluannya. Di matanya kini menari sorang iblis sundal. Perempuan binal. Dengan desahnya yang jalang. Dengan jeritnya yang erotis. Maka belati itupun hinggap di perut yang pernah dihuninya selama sembilan purnama. Berulang. Berulang. Berulang. Terakhir belati itu bertengger di kening ibunya. Sadis. Kejam. Hitam. Beku. Bisu.
Beberapa saat dibiarkannya emosinya mereda. Genderang di dadanya setahap demi setahap mulai mereda. Pelan. Pelan. Dan berhenti sama sekali. Mata iblis yang merah menyala, menitikkan bulir-bulir bening. Mengalir menuruni lereng-lereng merah wajahnya, berbaur dengan peluh. Menyatu. Ditelponnya polisi dan … “Hapunten, Ki, jigana moal tinekanan cita-cita teh... ”. Dia, si anak malang, tak bisa menjadi pilot.
“Kang, tuangeunna tiis”, suara serak pria muda yang tadi. Lamun yang mengawang di langit memorinya, seketika hempas di lantai keramik. Dirinya kembali ke dunia nyata. Saat ini. Meja single di sudut ruangan sebuah pusat jajanan. Sepiring nasi goreng, segelas teh manis. Sudah agak dingin. Seorang pria lanjut usia duduk tenang di hadapannya. Tersenyum. Ramah. Berwibawa.
“Anda ?!”, teriaknya keras. Kaget bukan kepalang. Orang-orang berpaling ke arahnya. Sesaat. Lalu kembali asik dengan obrolan masing-masing. Atau makanan. Atau lamunan.
“Ya, ini saya”
“Apa yang anda lakukan di sini ?”
“Saya mencarimu, nak”
“Apa yang anda mau ?”
“Kamu. Ayah inginkanmu, Anakku. Ayah telah merindukanmu sejak lama”
“Apa ? Anda serius ?”
“Tentu, Anakku”
“Hua…ha…ha…ha”, tawanya meledak. Membahana. Menendang setiap kuping di ruangan itu. orang-orang kembali terusik. Memandang heran ke arahnya. Tak peduli. Ia terus tertawa. Tertawa. Sementara kakek di hadapannya tertunduk.
“Anda merindukan saya setelah apa yang anda lakukan pada saya ?”
“Tentu, Anakku. Aku ayahmu ”
“Ya, dulu. Sebelum anda meninggalkan saya.”
“Ayah menyesal, Nak. Itu adalah kesalahan terbesar ayah. Tolong maafkan ayah, Nak ! Mari pulang bersama ayah. Rumah kita sudah terlalu lama sunyi.”
“Tidak. Terimakasih. Sudah cukup saya menderita karena anda. Sekarang biarkan saya menjalanai kehidupan saya sendiri. Dan anda silahkan melanjutkan kehidupan anda.”
“Anakku …”
“Cukup ! Tinggalkan saya sendiri !“
“Baiklah. Tapi kalau kamu berubah pikiran, tak ada pintu di rumah kita yang tertutup buatmu !” kakek itu pun pergi dengan kepala tertunduk. Ditolehnya anaknya sekali lagi dengan tatapan menghiba. Sang anak tak peduli. Dengan tenang disantapnya nasi goreng yang sudah mulai dingin. Kakek itu pun melangkah lunglai meninggalkan meja single itu.
Sendok pertama masuk ke perutnya dengan susah payah. Tak dipungkirinya, bahwa dia sangat menyesal dengan apa yang dilakukannya barusan. Kerinduan pada sang ayah sebenarnya begitu tebal melapisi sanubarinya. Sendok kedua, tersendat di tenggorokannya sehingga terpaksa harus didorong dengan teh manis yang juga sudah dingin. Sesal dan kerinduannya semakin tebal menyelimuti hati. Sendok ke tiga hanya mampir di bibir. Diletakkannya. Berdiri. Berlari.
“Ayah … !”, serunya sambil berlari memburu sang ayah yang segera berhenti dan membalikkan badan. Mereka saling berangkulan. Saling melepas kerinduan. Menumpahkan segala cinta dan kasih sayang yang lama tak tersatukan.
“Mari pulang, anakku !”

Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Durjana

Malam dirajai kegelapan. Langit pekat. Hitam tanpa kerlip bintang. Purnama masih terlalu dini untuk berseri. Tanah basah sisa gerimis sesaat. Di beberapa lubang jalan, air menggenang. Sedesir angin membelai malam. Lembut. Menebar dingin hawa durjana. Mengisyaratkan angkara. Meniupkan bau kematian.
Berbekal lampu senter dengan baterai yang sudah sangat lemah, aku tekan rasa takut yang mengurungku. Dengan keberanian yang dipaksakan, aku susuri kegelapan jalan kampung berlubang, dalam langkah penuh harap.
Satu setengah jam sudah kutinggalkan rumah. Tiga puluh menit yang lalu aku masih melihat keramaian jalan raya ketika turun dari bis antar kota itu. Dan sekarang aku sendirian di sini. Dalam kegelapan. Di depan sana, pada jarak sekira dua kilometer, yang kutuju masih gelap. Hamparan hijau kebun teh, yang siang hari seperti permadani raksasa, tak tampak malam ini. Kabut tipis menghalang jarak pandangku.
“Wussssss…..”, sesiur angin yang berhembus tiba-tiba, menghentikan langkahku. Dingin mengusap tengkuk. Bulu kudukku berdiri, meremang. Sesaat keraguan mengurungku. Melarangku melanjutkan langkah. Pandangku jauh ke depan menembusi kepekatan malam. Ke kegelapan yang akan kutuju. Ingatanku melayang ke ranting-ranting kenangan. Menyusuri jejak demi jejak peristiwa yang kualami, yang membawaku ke sini. Langit masih juga hitam. Dan kabut semakin tebal. Dan malam pun membeku.
*

Benar-benar pagi yang sial. Setelah bangun kesiangan dan tak sempat sarapan, bis yang kutumpangi mogok di tengah perjalanan. Jarak kantorku masih terlalu jauh untuk ditempuh dengan jalan kaki. Hujan deras menambah panjang daftar penderitaan yang kuterima pagi ini.
“Delapan lewat tiga belas”, seorang pria muda yang duduk di sampingku menunjukkan G-Shock hitam yang melingkar di tangan kanannya. Sepertinya, dia baru lulus SMA dan akan ikut SPMB. Map merah bertuliskan IPA itu cukup menjadi ciri. Persis sama dengan yang dibawa adik perempuanku dua hari lalu.
“Terimakasih”, kataku sambil mendekap erat tas hitam berisi proposal proyek penambahan tenaga kerja di perusahaan tempatku bekerja. Proposal ini harus tiba di meja Manager Personalia sebelum pukul delapan, pagi ini. Aku sudah terlambat tiga belas menit, dan sekarang aku masih di sini. Terjebak dalam bis kota yang mogok. Dan di luar hujan semakin bertambah deras. Aku akan sangat terlambat. Dan aku tahu betul apa yang akan kuterima sebagai konsekuensi dari keterlambatan ini.
Tiba di kantor dengan pakaian basah. Jam dinding di ruang tunggu menertawakan keterlambatanku. Jarum-jarumnya dengan tenang hinggap di angka sembilan dan angka lima. Sementara jarum detiknya terus saja berlari melewati angka demi angka, sambil tak henti tertawa mencemooh nasib sialku. Hampir satu setengah jam aku terlambat. Sofa di ruang tunggu menyambut tubuhku yang menghempas lesu. Tak bertenaga. Tak semangat. Pasrah.
“Selamat pagi, Pak Yandi. Mari, silahkan masuk”, pintu ruang Manager Personalia terbuka dan Pak Burhan tersenyum menyambutku dengan sapaan hangat. Pikiranku semakin tak menentu. Lunglai aku melangkah ke ruangan itu. Aku letakkan pantatku di kursi di depan meja kerjanya. Kepalaku tertunduk. Seperti pesakitan dihadapkan di depan meja hijau. Jantungku tak henti bertalu. Gemetar tanganku membuka tas dan mengambil proposal. Meletakkannya di meja. Hati-hati sekali.
“Selamat, Pak Yandi”, Pak Burhan mengulurkan tangan kanannya. Aku semakin bingung dan tak tahu harus berbuat apa. Ragu-ragu aku menjabat tangannya.
“Mm…maaf. Ss…saya tidak mengerti maksud Bapak”
“Selamat. Mulai besok, Pak Yandi tak perlu repot-repot menyusun proposal seperti ini”, katanya sambil menunjuk proposal yang kususun berhari-hari itu.
“Mm…maksud Bapak ?”
“Pak Yandi dipecat !”
Petir dan halilintar di siang bolong mungkin tak akan terlalu membuatku terkejut. Aku tak menduga sedikit pun akan seperti ini. Aku baru sempat membayangkan akan mendapat dampratan super kejam dan sedikit pemotongan gaji serta keharusan lembur beberapa hari. Tapi aku tak bisa berbuat apa-apa lagi. Aku terima amplop berisi surat pemecatanku itu dengan perasan hancur lebur. Remuk.
**

“Mila ! Hentikan ! Hentikan ! Jangan bertindak bodoh !”, kagetku bukan alang kepalang mendapati pemandangan mengerikan ini. Adik perempuanku berdiri di kursi di atas meja makan. Matanya yang indah dan selalu berseri itu, tampak sembab. Bekas-bekas lelehan air mata menyisakan parit-parit kering di pipinya. Wajah yang kusut dengan rambut acak-acakan, menambah kesan kesedihan yang dalam. Mila tampak begitu menderita. Tertekan. Di depan wajahnya, sebuah bulatan tali yang tergantung pada kayu palang langit rumah, menyeringai. Mencemooh.
Segera aku memburunya. Melepaskan tangannya dari tali bodoh itu. Aku coba menenangkannya dan membawanya turun. Tangisnya seketika luruh di dadaku, dalam pelukan kakaknya semata wayang. Aku biarkan saja ia menumpahkan semua kesedihannya. Penderitaannya. Hanya aku yang tersisa, tempatnya mengadu dan berlindung.
“Hendra, Kak. Hendra…uhu…hu…”, katanya di sela isak tangisnya, sambil menunjuk laci lemari bajunya.
***

Aku baru selesai shalat ashar. Pintu rumahku ada yang mengetuk. Bu Anwar, pemilik rumah yang kami tempati ini. Dulu ini memang rumah kami. Satu-satunya yang ditinggalkan orang tua kami. Tapi sejak tiga tahun yang lalu rumah ini  telah berpindah tangan kepadanya. Aku menjualnya, untuk biaya sekolah kedua adikku. Mila masuk SMA dan Wawan masuk SMP. Beruntung sekali waktu itu Bu Anwar berbaik hati mengizinkan kami tinggal sampai kedua adikku lulus.
“Nak Yandi, ibu betul-betul minta maaf”, Bu Anwar memulai pembicaraan setelah kupersilahkan duduk di ruang tamu yang sempit dengan satu set kursi rotan yang sudah usang.
”Seperti nak Yandi ketahui, si Arman, anak ibu yang paling bontot akan menikah akhir bulan depan. Rencananya, setelah menikah dia dan isterinya akan menempati rumah ini, yang memang sudah menjadi haknya.”
Baik sekali ibu tua ini. Bahkan untuk mengambil miliknya sendiri pun, ia masih berlaku sopan. Penuh tatakrama. Tidak banyak orang sebaik beliau di zaman sekarang ini. Apalagi di kota yang lumayan besar seperti ini.
Bingung. Aku benar-benar bingung. Aku tak tahu apa yang harus kukatakan. Yang pasti aku harus segera keluar dan meninggalkan rumah ini. Rumah yang berpuluh tahun menampung dan menaungi kami sekeluarga. Rumah yang sudah membesarkan aku dan kedua adikku. Rumah yang sarat dengan kenangan. Rumahku. Istanaku.
“Sekali lagi ibu minta maaf, nak Yandi. Kalau bisa, sebelum tanggal sepuluh bulan depan, rumah ini sudah kosong”
“Baik, Bu. Saya sangat mengerti. Insya Allah secepatnya kami akan segera pindah dari sini.”
Kuantarkan kepergian Bu Anwar dengan tatapan mata kosong. Pikiranku sudah terbang entah ke mana. Mungkin ke negeri antah berantah, mencari putri kerajaan dongeng yang bisa menolongku dengan tongkat ajaibnya. Atau ke angkasa raya menjemput Peri Bintang yang sanggup menerangi cakrawala hatiku dengan kerlip matanya. Atau ke brankas besi di bank nasional yang penuh dengan rupiah.
****

“Kak, Wawan diterima di SMA 1”, si bungsu datang mengganggu gundahku. Ia tampak bahagia, membawa kabar yang semestinya membuatku gembira. Perlahan aku buka dan baca surat itu. Wawan diterima sebagai siswa SMA 1 tahun ini. Di daftar siswa yang diterima, ia urutan ke sembilan. Orang tua manapun pasti akan bangga ketika anaknya mendapat prestasi bagus. Dan diterima di sekolah sefavorit SMA 1 adalah sebuah prestasi hebat. Wawan harus segera melaksanakan daftar ulang sebelum tanggal dua puluh bulan ini. Aku pandangi binar di matanya yang memancarkan kebanggaan.
“Maafkan kakakmu, Wan. Kakak tak bisa menyertai kebahagiaanmu”, kataku dalam hati. Hanya dalam hati. Aku tak sampai hati menghancurkan kegembiraannya. Kebanggaannya.
Satu juta lima puluh ribu. Apa aku bisa mendapatkan uang sebanyak itu dalam tiga hari ? Dari mana ? Bagaimana ? Perusahaan tempatku menggantungkan hidup telah memecatku. Sementara simpanan uang sisa penjualan rumah yang dipegang Mila, raib dirampok Hendra Cahyana.
“ Ya sudah. Sekarang kamu mandi sana !”
*****

Rangkaian kejadian siang tadi terbayang kembali dalam memoriku. Jelas tergambar seperti film-film pendek. Pak Burhan yang memecatku karena terlambat menyerahkan proposal, Mila yang mau bunuh diri karena dirampok dan diperkosa temannya sendiri, Bu Anwar yang meminta rumahnya dengan sopan, dan Wawan yang ingin melanjutkan sekolah.
Keraguan yang sempat mengurungku, aku lempar ke alam maya yang tak teridentifikasi. Tekadku bulat. Semakin bulat. Sebulat bola dunia. Sebulat matahari. Sebulat angkara berbalut kesumat. Ya, aku harus melakukannya malam ini. Harus.
Kembali aku melangkah. Menempuh jarak yang tinggal dua ribu meter. Sebuah villa di tengah hamparan kebun teh, yang masih belum kelihatan. Setitik sinar lampunya sekalipun. Sebuah villa pribadi milik keluarga Burhan Cahyana. Langkahku semakin pasti. Tegas dan tergesa.
Jam antik di ruang tamu villa itu berdentang sepuluh kali, tepat saat aku tiba di teras villa itu. Pintunya terbuka.
“Selamat malam, Pak Burhan”, kekagetan jelas sekali terlihat di wajahnya yang bulat. Juga di wajah Hendra Cahyana, anak sulungnya. Setelah beberapa saat tertegun, Burhan segera mampu menguasai dirinya.
“Eh, Oh, Pak Yandi. Mari, Pak. Mari. Silahkan masuk”, sambutnya dengan keramahan yang sangat dipaksakan. Aku masuk dan duduk di sofa empuk ruang tamu. Aku mengambil tempat di dekat pintu, berseberangan dengannya. Hendra berdiri di samping bapaknya. Ibu dan adik perempuannya tak kelihatan. Mungkin sedang di dapur atau kamar.
“Langsung saja, Pak. Saya mau membicarakan perihal pemecatan saya”, aku menggilirkan batang yang menyembul di balik jaketku. Membetulkan posisinya senyaman mungkin. “Di surat itu disebutkan bahwa saya akan mendapat pesangon sebesar satu tahun gaji. Menurut bagian keuangan, Bapak sudah mengambilnya. Betul, Pak ?”, nyaris tak percaya aku pada diriku sendiri. Aku bisa bicara lancar dan tegas di hadapan orang yang paling kusegani selama ini.
Burhan diam saja. Juga anaknya.
“Kebungkaman Bapak saya artikan pengakuan. Terima kasih”, Burhan menatapku lekat. Aku balas memandangnya. Malu dan marah membuat mukanya merona merah. Aku tak peduli. Aku sudah terlalu lama menundukkan kepalaku di hadapannya. Sekarang saatnya aku tegakkan kepalaku. Burhan menunduk. “Tapi saya masih belum mengerti alasan pemecatan saya. Proposal itu baru akan Bapak ajukan besok pagi, bukan ?”
Burhan masih menunduk.
“Apakah penolakan adik saya untuk menjadi isteri anak Bapak alasannya ?”
“Hey, Bung ! Jaga omonganmu !”, Sang anak berteriak marah melihat Bapaknya terpojok oleh pertanyaanku. Maka aku alihkan wajahku ke arah Hendra.
“Oh, kamu rupanya. Kamu yang mengambil tabungan Mila, adik saya ?”, tatapanku kubuat sedingin mungkin. Tajam menembusi dinding keangkuhannya. Hendra semakin marah. Wajahnya melegam. Aku tersenyum senang. Itu yang kuharapkan.
“Heh ! Berani sekali kamu memfitnah saya !”
“Kamu marah ? Itu artinya kamu merasa.”
“Apa kamu bilang ? Kamu benar-benar …”
“Ya, memang. Aku bicara benar, bukan ?”, Hendra memandangku dengan penuh amarah. Aku tak peduli, tapi segera kutingkatkan kewaspadaan. “Satu hal lagi. Aku akan melaporkanmu ke polisi atas perkosaan yang kamu lakukan pada adikku.”
“Bangsat ! Kamu benar-benar cari mampus !”, Hendra menggembor sambil melompat ke arahku. Dia mengirimkan tinjunya ke wajahku. Aku sudah cukup waspada. Dengan sedikit menggerakkan kaki kiri, aku dorong meja menghalangi gerakannya. Hendra yang kurang waspada, tersandung dan jatuh menelungkup di atas meja. Dia meringis menahan sakit, malu dan marah.
“Kamu marah Mila menolak lamaranmu ?”, aku masih tetap tenang di tempatku. “Mila bukan perempuan murahan yang bisa dibeli dengan uang haram Bapakmu. Tidak seperti perempuan-perempuan lacur yang biasa melayanimu dan Bapakmu itu.”
Sorot matanya semakin liar. Berkilat. Merah tua bagai saga. Dengan geram ia menatapku. Aku paling benci tatapan seperti itu. Menantang. Maka tanpa aba-aba kulayangkan kepalan tangan kananku ke wajahnya, tepat di hidungnya. Hendra terjengkang. Pingsan. Darah segar keluar dari hidungnya yang lumayan bangir. Burhan diam tak bergerak di tempatnya. Aku bangkit dan mengunci pintu. Anak kuncinya aku masukkan ke saku jaketku.
“Anakku !”, Bu Burhan yang baru keluar dari kamar menjerit histeris melihat anaknya terkapar di lantai. Segera ia memburu anaknya.
“Pak Burhan, tolong kembalikan uang adik saya yang diambil Hendra siang tadi. Juga uang pesangon saya.” Burhan masih diam. Mulutnya sedikit terbuka. Tatapannya lurus ke arahku. Mungkin dia masih shock melihat tindakan nekadku barusan. Selama ini dia mengenalku sebagai karyawannya yang pendiam. Patuh dan segan padanya sebagai atasan. Sabar. Selalu mengalah. Dan bahkan terkesan penakut.
“Pak Burhan…”, dia masih juga diam. Aku jadi naik pitam dibuatnya. “Sekarang !”, bentakku keras. Burhan tergeragap. Dia bangkit. Aku ikuti dia berjalan ke kamarnya tanpa memperdulikan keberadaan isterinya. Burhan membuka lemari dan mengeluarkan tas hitam berisi tumpukan uang. Nyonya Burhan menyusul ke kamar. Dia merebut tas berisi uang dari tangan suaminya. Aku menjadi semakin gelap mata. Hatiku tertutup awan hitam. Segera kukeluarkan Katana yang terselip di balik jaketku. Dalam satu gerakan kucabut ia dari sarungnya. Cahaya lampu listrik nampak berkilat memantul dari permukaan pedang kecil itu.
“Cepat serahkan !”
“Tidak ! Ini milik kami. Tolong…! Tolong…ada rampok !”
“Ha…ha…ha… Ayo berteriaklah sesukamu. Berteriaklah sekeras mungkin. Kalau perlu sampai tenggorokanmu putus. Ha…ha…ha…”, aku yakin tak akan ada yang mendengar teriakannya. Villa ini terpisah sekitar lima kilometer dari perkampungan penduduk.
“Ma, Pa, ada apa ?”, mendengar teriakan ibunya, anak gadis Burhan datang memburu ke kamar. Dia hanya mengenakan kaos singlet putih tipis dan celana pendek. Tanpa bra, hingga puting susunya nampak menonjol di kaos singlet tipisnya. Seksi sekali. Tubuhnya sintal, padat berisi dengan kulit putih mulus. Sepasang payudara yang semangka membusung sekal di dadanya. Wajah cantik dengan rambut sebahu, ditopang leher jenjang. Sungguh tanpa cela. Darah kelelakianku seketika menggelegak. Darah lelaki bujang 28 tahun. Aku terangsang. Aku benar-benar telah lupa diri. Iblis telah merestuiku sebagai pengikutnya. Dia membantuku mengusir sejuta malaekat yang bertasbih di telingaku. Dia juga membantuku mengusir bayangan Tuhan yang berdansa di kelopak mataku. Dia, Iblis, telah menjadi sahabatku. Menabuh gamelan untuk mengiringi tarian durjanaku.
“Bangsattttt……”, sebuah teriakan dari belakang membuat tanganku bergerak reflek menyabetkan katana ke arah sumber suara, sambil merundukkan badan. Darah muncrat dari perut Hendra. Guci keramik yang diangkatnya, jatuh menimpa kakinya sendiri. Pecah berantakan. Hendra meringis. Tak bisa berdiri. Duduk ia bersandar di tembok kamar. Aku menyeringai. Senyuman iblis.
Pintu kamar aku kunci. Tanganku beberapa kali bergerak sebat mengayunkan pedang kecil di tangan kanan. Dua tubuh tua rubuh bergelimang darah. Belum mati. Dan si cantik sudah tergolek tanpa busana di tempat tidur. Tangisnya tak terkata. Hendra hanya mampu menangis menyaksikan penderitaan adiknya, tanpa mampu menolong.
Iblis semakin banyak berkumpul di kepalaku. Malaekat-malaekat tak lagi bertasbih di telingaku. Terbirit mereka kembali ke langit. Dan bayangan Tuhan yang menari di mataku sirna seperti debu dihembus angin.
******

Seorang perampok, bunuh diri di hadapan Kapolsek  yang sedang memeriksa laporannya. Perampok itu menyerahkan diri setelah seminggu buron karena membantai seluruh keluarga konglomerat, Burhan Cahyana, di villanya …………
“Semoga arwah Kak Yandi diterima di sisi-Nya. Amin”, Mila mematikan televisi, lalu membimbing adiknya ke balkon hotel, kamar 913. Dan… ”Tuhan, izinkan aku menjadi durjana”, bisiknya lirih.

SAKOLA UJANG

Hampura, Anaking. Kawasna hidep mah moal kungsi ngalaman sakola. Moal kawas anak-anak kang Usman, tatangga di kalēreun imah urang anu buruanna lega pinuh ku rupa tatangkalan jeung kekembangan. Unggal isuk tiluannana ngabring arindit ka sakola, dianteur ku gupay jeung imut ceu Ikah, indungna, ti tēras hareup. Nyi Nani, budak panggedēna, geus makē anderok abu-abu. Manēhna sakola di SMA Pasundan. Geus kelas dua. Nu panengah, nyi Rika, geus kelas tilu SMP. Moal lila deui rēk ujian nasional, sarta tangtu rēk nuluykeun sakola. Kahayangna tēh ka SMEA, cenah. Ari si bungsu mah, jang Yana, kakara kelas opat SD. Sok kagugu mun nempo polahna. Awakna bayuhyuh. Gendut. Kawantu diloloh ku kadaharan nu aralus gizina. Leumpangna ngadēdod kawas ēntog rēk ngendog. Bangun nu beurat tur karagok. Sakeudeung-sakeudeung eureun ngadon ngangsrodkeun calana beureumna anu teu bisa nyangsang dina cangkēng.
Sok resep mah mun ningali neng Wulan, anak pa Tatang, ngaliwat hareupeun imah urang. Baju saragamna, boh anu bodas abu-abu atawa anu coklat-coklat, teu welēh rapih. Beresih. Mantes jeung nyari. Sakapeung mun isuk-isuk sok dianteurkeun, diboncēng ku bapana. Tapi ari mimindengna mah leumpang baē sorangan. Bējana pinter nēng Wulan mah. Malah sok jadi bēntang kelas waē cenah. Kungsi meunang bēasiswa sagala. Kayungyun keur geulis tēh. Cacak geus teu boga indung mah. Resep ku somēahna nēng Wulan tēh. Mun ngaliwat teu welēh nanya bari dibarung ku imut. Nurun ti bapana ari kitu tēa mah. Enya, pa guru Tatang gē pan kitu. Handap asor. Somēah ka sasaha, teu ka kolot teu ka budak. Bērēhan deuih. Enyaan nēng Wulan mah tēng manuk tēng anak merak kukuncungan.

Manglebarkeun ku anak mang Haji Sarkowi, urang Cigintung anu ngontrak di imah ceu Wati. Cacak anak jalma beunghar bari kasebut anak haji, si Deni mah nurustunjung pisan. Euweuh purianeunnana. Euweuh pisan pujieunna. Kēheulaanan picontoeun. Nu aya mah pikakeuheuleun. Pikaresepeun peureup. Unggal isuk jiga nu heueuh indit makē baju saragam, padahal ka sakola teu nepi. Kadon mēngkol ka tempat billiar. Bubuhan anak nu beunghar atuh tangtu baē duitna gē kandel. Teu anēh mun kabedag mayar waraad ulin jeung rucah di billiar gē. Atawa meuli barang-barang haram samodēl ēkstasi, ganja, hēroin jeung sajabana. Mmh…karunya teuing ka mang Haji Sarkowi. Meureun nyangkana mah bener wē anakna tēh sakola. Unggal bulan mēnta dikirim duit. Alesan keur itu keur ieu. Meuli buku anu. Mayar iuran anu. Bēhna ukur dipakē teu eucreug. Palias sing jararauh nu kitu tēh. Hidep mah ulah saturut-turutna. Ulah kabawa ku sakaba-kaba.

Anaking, ayeuna umur hidep geus tujuh taun. Geus mangsana hidep indit ka sakola. Kawas Jang Yana anak kang Usman tēa. Geus kasawang na kongkolak panon Apa, unggal isuk hidep digeuingkeun ku Ambu, indung hidep. Tuluy disina mandi di pancuran. Teu dimandian da hidep tēh geus gedē. Geus kudu diajar mandiri, mandi sendiri, cenah. Sabot hidep mandi, Ambu mangnyangraykeun sangu, manggorengkeun endog. Keur hidep sarapan. Reres mandi, rap hidep makē baju beunang ngalicin Ambu. Tuluy nyisiran. Tuluy makē sapatu, meunang Abah meuli ti loak. Rēngsē sarapan, hidep amitan ka Abah jeung ka Ambu. Solongkrong hidep ngasongkeun leungeun ka Apa, ku Abah ditampanan. Leungeun Abah dibedol. Dicium. Sirah hidep ku Abah diusap bari didu’akeun sangkan jadi budak soleh. Pinter. Ka Ambu hidep namprakkeun dampal leungeun. Mēnta jatah jajan. Golosor Ambu ngasongkeun kencring konēng gambar balap sapi. Tilu siki. Jung hidep indit dijajap ku gupay jeung du’a bari reumbay cimata ti lawang panto.
Kira jam sapuluh, hidep geus balik ti sakola. Capētang hidep nyaritakeun sagala nu kaalaman di sakola.
“Ambu. Ambu. Tadi saur bu guru, Yandi pinter. Tiasa angkat sakola nyalira, teu dijajapkeun ku Ambu atanapi Apa”, atawa, “Ambu. Ambu. Yandi dipiwarang janten KM”, atawa, “Ambu. Ambu. Yandi mah teu jajan. Sadayana ditabungkeun di bu guru.”
Kasawang indung hidep cumalimba. Ngabandungan hidep bacēo. Sirah hidep diusapan bari reumbay cimata. Teu lila hidep lumpat muru ka Abah. Luncat kana lahunan. Tuluy…

“Punten ! Punten !”, gebeg. Hatē ngagebeg sataker kebek. Reuwas liwat saking. Keur anteng ngalamun.
“Kang … !”
“Aēh, jang Marwan. Aya naon, Jang ?”
“Ieu Kang, aya serat ti pa Lurah”,
“Surat naon, Jang ?”
“Uleman rapat di Balē Dēsa”
“Oh, nuhun, Jang”.
“Mangga atuh, Kang”
“Eeh…naha mani enggal-enggalan. Linggih heula atuh, jang Marwan !”
“Ah, sanēs waktos baē Kang. Seueur kēnēh bujengeun. Mangga, Kang !”
“Mangga. Mangga”.

Jang Marwan ngalēos dituturkeun ku teuteup reueus dua panon kana tonggongna. Anak ceu Onih. Hiji-hijina. Bulan hareup manehna rēk diwisuda. Rēk jadi Sarjana Ekonomi. Gedē milik Ceu Onih mah boga budak tēh. Bageur. Pinter. Jeung getol ka masjid deuih. Padahal ceu Onih tēh lain jalma aya. Sarua kawas urang. Ukur ngandelkeun pangsiun kang Husen anu maot basa keur dines di Timor Timur, jeung bati ladang dagang lotēk. Jang Marwan mah bisa kuliah sotēh ku lantaran meunang bēasiswa ti pamarēntah.

Emh… bagja temen lamun hidep bisa kawas manēhna. Diwisuda. Jadi sarjana. Abah mah hayang hidep tēh jadi Sarjana Pertanian. Ngarah bisa metakeun kabisa di lembur sorangan. Bisa ngawangun pertanian di lembur urang ku teknologi tepat guna. Ngaping dulur-dulur urang di lembur sangkan bisa ngaronjatkeun kabisa, kanyaho jeung kabogana. Tapi ari si Ambu mah geuning kahayangna tēh hidep jadi Sarjana Politik. Sangkan hidep bisa jadi ketua partēy, tuluy dicalonkeun jadi persidēn, tuluy kampanye di televisi dilalajoan ku mangyuta pasang panon, pokna tēh. Kumaha hidep. Nu penting hidep mah ulah kawas para pangagung urang ayeuna nu resep ngajual tandatangan jeung meuli sora. Nu resep kokodok jeung kokorobet kana eusi dompet nagara. Nu resep maokkan duit rahayat. Palias.

Laluhur cita-cita mah Abah jeung Ambu tēh, Jalu. Ngan nya kitu. Pamuhalan. Boro-boro bisa ngahontal cita-cita anu sakitu luhurna. Luhur alahbatan gunung, lega alahbatan sagara. Ukur jadi impian. Ukur jadi cita-cita. Ukur jadi kahayang. Apan urang mah jalma sangsara. Jalma teu boga. Jalma sangsara mah teu meunang sakola. Sakola mah diadegkeun ukur keur jalma-jalma aya. Jalma beunghar. Jalma nu loba pakaya. Jalma nu loba duit. Sakola mah barang mahal. Barang mēwah nu hamo kabedag ku pantar urang. Pajar eta cenah aya subsidi jeung bantuan ti pamarentah, ah da geuning tara katarima ku uran mah, da kaburu beak manten dipaokan beurit. Da di sakola ge geuning loba beurit tēh.

Urang mah tong bororaah keur sakola. Keur dahar sapopoē gē seuseut seuit. Dahar isuk henteu sorē tēh lain dongēng. Panghasilan Abah tina ngabedug di sawah Mang Haji Juha, teu sabaraha. Teu bisa dijadikeun andelan. Ukur mahi keur keuli bēas jeung uyah sangkan urang teu kalaparan.
Hampura, Anaking. Ayeuna gē lain tēga Abah tēh, ngantep hidep diteureuy panyakit paru-paru. Kapan ti tatadi gē urang mah jalma sangsara. Ari jalma sansara tea, kapan teu meunang nincek ubin puskesmas-puskesmas acan. Komo rumah sakit.

CATETAN KEUR NUR WULAN SYAHIDAH

Tina catetan diary Wulan, 4 Sēptēmber 2004.

“Darma”, pokna bari ngasongkeun dampal leungeun katuhu. Leungeun kēncana pageuh nyepeng beusi pamuntangan nu ngagantung dina lalangit beus kota. Paromanna marahmay. Somēah. Friendly, meureun ceuk basa lēgēgna mah. Aya imut leutik nu nyelap dina juru biwirna. Saeutik, ukur sagelenyu. Teuteupna seukeut, tapi teu matak raheut. Badis mata heulang. Ngabelesur lir jamparing, nyasar rasa ngincer puseur implengan di dasar sagara dua mata.
Bari jeung rada asa-asa kuring nampanan leungeunna nu keker. Lalaunan nyebut ngaran, “Wulan”, tuluy tungkul nyingkahan teuteupna nu niruk jajantung tangka ratug tutunggulan. Hatē norowēco ngomong sorangan, nganaha-naha ka diri bet daēk wawanohan jeung lalaki anyar pinanggih, nu can karuhan bageur henteuna. Kumaha lamun lalaki iseng, atawa lalaki mata karanjang, atawa leuwih jauh deui jalma jahat nu aya niat gorēng rēk mergasa, ngarogahala, atawa ... na’udzubillahi min dalik.
 “Punten... eu...”, pokna deui bangun asa-asa. Kuring tanggah, rada reuwas bari ngabedol dampal leungeun anu geuning masih kēnēh pacepeng-cepeng. Sakedapan paadu teuteup. Deui-deui kuring bobolēh. Rumasa ēlēh jajatēn ku teuteup seukeut mata heulangna. Kuring ngabalieus miceun beungeut. Nyumputkeun kaēra nu naraplok beureum dina pipi. “Punten... eu... eu...”, pokna angger asa-asa. Kuring angger tungkul, api-api teu ngadēngē. Sakapeung api-api melong ka luar jandēla. Melong kosong, kana aleutan mobil jeung motor nu ngawurkeun kekebul jeung haseup, kana jajaran toko-toko nu kakara buka, kana abrulan jalma nu minuhan trotoar.
 “...eu...eu... punten...eu... tiasa sampēanna diangkat ?”. Gebeg. Kuring ngarēnjag, reuwas liwat saking. Jaba ēra deuih. Ēta pangpangna mah. Ēra. Teu ku hanteu, abong kēna suku teu panonan, bet teu karasa nincak suku batur. Geuwat kuring ngangkat suku anu dampalna dibakutet ku sapatu anu pajurawet tali wungkul. Sapatu awēwē. Hakna anu jangkung tur mēncos, mēh nanceb dina sapatu kulit manēhna tangka kentob. Gancang kuring mēnta hampura ka manēhna. Pok deui pok deui kuring ngedalkeun kecap “hapunten !”. manēhna ukur ngawalon ku imut. Kalah tuluy nawaran peremēn karēt. Bari jeung ēra gē kuring nyokot hiji, laju dihuapkeun. Imut kuring ngalangkang dina sesela biwir, ngawalonan imut manēhna. Antukna, obrolan kuring jeung manēhna ngaguluyur bareng jeung murulukna girimis luareun beus kota. Jandēla mimiti renung ku cai hujan.

***

Saptu sorē, 2 April 2005

            Sisinarieun, wayah kieu hidep geus dangdan rapih. Panon poē karēk indit nyusulan indung peuting, nyēsakeun layung beureum nu ngagarantung na biwir langit beulah kulon. Kabeneran poē ieu mah henteu hujan. Teu girimis-girimis acan.langit burit lēnglang tan aling-aling. Kalong mimiti rabeng haliber ninggalkeun sayangna, mapaēsan sorē cangra, milu ngabagēakeun ka indung peuting nu rēk datang. Sok resep mun nyawang burit tina jandēla kamar tēh.
            Hidep asup ka kamar nanggeuy baki eusi saemuk citēh manis karesep Abahjeung sapiring gorēng pisang minangka lalawuhna. Sok, baki diteundeun luhur mēja gigireun jandēla. Tuluy nangtung hareupeun eunteung nu naplok dina panto lomari pakēan. Gulak-gilek. Dangdak- dēngdēk. Ngabebenah anu karasa can rapih. Subhanallah... geus gedē geuning hidep tēh, Geulis. Awak jangkung leutik, pepel tur ngeusi. Pakulitan sampulur dibungkus ku kaos jeung jēkēt kayas kameueut. Anderok nu ogē kayas, serasi pisan jeung kulit hidep anu beresih. Pangambung hidep nu bangir, naplok ngaantaraan dua mata nu cureuleuk. Biwir semu galing, dibaseuhan ku lipgloss pulas kayas, mani amucuy. Buuk hidep nu panjang tur hideung meles, ngarumbay tepi ka cangkēng. Nyaan, geulis geuning hidep tēh, Bageur. Bet jiga ...
            Ngarasa aya nu merhatikeun, hidep malikkeun awak. Lenyap. Hatē ase aya nu mangpēngkeun ka dasar jungkrang. Sakedapan ngeleper. Hidep bet ngajanggēlēk si jenat, indung hidep. Enya indung nu geus ngandung tug tepi ka ngagubragkeun hidep ka alam pawenangan ieu. Indung hidep nu teu kungsi nyaho yēn anakna borojol kalawan salamet sarta hirup kēnēh tepi ka kiwari. Malah geus jadi parawan rancunit. Indung hidep nu Insya Allah maot dina kaayaan syahidah basa ngalahirkeun hidep. Harita tēh meneran peuting bulan purnama, salapan las taun katukang. Ēta pangna hidep dingaranan Nurwulan Syahidah.
            Ayeuna hidep geus gedē, Anaking. Geus mangkat sawawa. Hidep geus nyangking titēl mahasiswi. Padahal salila salapan las taun tēh hidep ngan apal ka nu jadi bapa. Ka indung mah ukur wawuh tina potrēt nu ngajeblag dina tēmbok di kamar Abah, jeung padung nu unggal sorē dilongokan. Mēmang salila ieu, ti barang brag, hidep ukur diurus ku Abah, dibantuan ku Bi Ijah, lanjang urang. Padahal teu kurang-kurang ēta ogē nini, uwa jeung bibi-bibi hidep mah nitah sangkan Abah nēangan gaganti si jenat, pikeun nempatan posisi indung hidep. Tapi hatē Abah teu mērēan. Hatē teu mikeun mun hidep kudu boga indung tērē. Geus loba kacaritakeun, kumaha nasibna budak nu diasuh ku indung tērē. Najan teu kabēh, tapi karērēaanna mah balangsak. Teu. Abah teu mikeun samasakali.      Alhamdulillah, geuning ku sorangan gē teu burung bisa ngagedēkeun hidep.
            “Serasi teu, Bah ?”, gebeg. Reuwas. Asa kagareuwahkeun, keur anteng ngumbar panineungan.
            “Cocok, Geulis ! Cocok !. Saē pisan. Mani jiga ... Aēh, na badē ka mana anak Abah tēh, asa tara-tara ti sasari wayah kieu tos ngageulis ?”
            “Ah, moal ka mamana, Bah. Hoyong baē atuh dangdos sakali-kali mah”, walon hidep bari aluman-alimen, semu nu ēra. Bet hayang terus ngaheureuyan ari nempo kitu tēh.
            “Henteu nuju ngantosan ... “
            “Assalaamu’alaikummm....”
            “...nu assalaamu’alikum...?” hidep imut semu ēra. Tapi katara aya katumbiri mayung dina pameunteu. Manca warna. Gura-giru hidep lumpat muru tepas imah, rēk ngabagēakeun nu dianti.
            “Dupi ieu leres bumi Pa Karta ?”
            “Oh, sumuhan, mangga linggih Bapa. Kaleresan pun Bapa nuju aya”, hidep nyusulan ka kamar, ngabējaan aya tatamu ka nu jadi bapa. Katumbiri tēa na raray hidep geus mēh leungit, katutup ku mēga hideung kahanjelu. Nu uluk salam tēh geuning lain nu dianti. “Ulah waka bendu atuh, Geulis. Nuju di jalan kēnēh panginten...”, ceuk Abah ngupahan. Hidep imut. Tuluy ngalēos ka dapur. Sanggeus nyuguhan tatamu, hidep asup ka kamar. Ngarapihkeun deui dangdanan, jang ngabagēakeun nu dianti tēa.
            Mang Ruslan, tatamu tēh, ti Wanaraja. Manēhna ngahaja nepungan, ngabējaan yēn Mang Emod, panyawah urang, maot kabēntar gelap basa ngaroris sawah urang anu di Wanaraja, bareng jeung Jang Ahmad, anakna nu karēk sataun jadi Sarjana Pertanian. Teu lila natamuna tēh, ukur nepikeun bēja hungkul. Mang Ruslan tuluy balik deui. Ku Abah dikeupeulan jang ongkos, sarta teu poho mihapē duit keur kulawarga Mang Emod, bari dijangjian yēn isukan rēk indit ngalayad ka Wanaraja.
            Di kamar, kasampak hidep keur anteng nulis dina buku harian. “Saha nu diantosan tēh, Geulis, kabogoh ?’, ceuk Abah harita bari ngusapan buuk hidep. Hidep ukur imut ngagelenyu, semu ēra. Tuluy unggeuk.
            “Hoyongeun tepang sareng Abah”
            “Tah, tah, tah... saha ngaranna ? urang mana ?”
            “Kang Darma, urang Garut”
            “Kutan ? atuh sakalian baē isukan urang tepungan kolotna. Da Abah isuk rēk ka Garut. Rēk ka Wanaraja, ngalayad kulawarga Mang Emod, panyawah urang.”
            “Da teu acan terang bumina anu di Garut mah”
            “Atuh taroskeun, Geulis. Kapan ayeuna badē kadieu sanēs ?”
            “Aēh muhun, nya !”, hidep ngēlēmēs kaisinan. Tayohna ēra aya atoh aya. Atoh pēdah nu jadi Bapa ngarojong kana karep hidep. Hawar-hawar, tina tēlēpisi nu keur dilalajoan ku Bi Ijah di tengah imah, kadēngē sora adzan magrib.
            “Kadē tong hilap shalat magrib, Bageur !”
            “Mangga, Bah.”

***


Tina catetan diary Wulan, 2 April 2005 : 21.00

            Jam antik titinggal uyut di juru rohang tamu disada salapan kali. Nu dianti-anti teu baē sumping. Ka mana atuh panutan tēh ? Kapan sakitu ēcēs disebatkeun dina serat, yēn sonten ieu tēh akang badē sumping,

Wulan, Geulis,manawi teu aya wagelan, Insya Allah dinten Saptu nu baris sumping, pasosonten, Akang badē ka bumi Wulan. Akang hoyong tepang sareng tuang Rama, sapertos nu kantos ku urang diobrolkeun.

Ku Abdi diantos ti sonten mula. Kēnging dangdos salila-lila, salira teu aya datang. Naha bet jalir, Jungjunan. Atanapi lali panginten salira tēh ? Upami aya pamengan nu teu tiasa dikantunkeun, geuning bet teu ngawartosan ? Telepon di rorompok aya, handphone ogē tara dikantun, da bilih salira ngagentraan. Upami lali atanapi ngahaja lali tēa mah, teungteuingeun teuing atuh, Jungjunan. Kantenan upami ngahaja lumpat tina tanggel waler mah ... Duh, saha atuh engkē nu bakal janten Bapa si Utun ?

***

Minggu, 3 April 2005

            Subuh urang indit ti imah tēh. Duaan baē, katilu supir. Teu milu bi Ijah mah. Kira jam dalapanna urang geus nepi ka Wanaraja, langsung muru ka imah kulawarga Mang Emod. Kasampak pamajikan Mang Emod keur ngalangeu di pipir imahna, dibaturan ku tatanggana, papada awēwē. Barang apal urang datang tēh manēhna gura-giru ngabagēakeun. Kitu deui tatangga-tatanggana. Pating solongkrong bari rengkuh ngasongkeun pangbagēa. Kitu tēa mah wajar, da dihenteu-henteu ogē maranēhna tēh kungsi kahutangan budi ku Abah. Kawas kulawarga Mang Emod, maranēhna kungsi ngagantungkeun hirupna tina sawah, kebon jeung balong Abah. Maranēhna dibērē kasempetan jeung kapercayaan ku Abah, pikeun miara sawah, balong atawa kebon Abah kawas bogana sorangan, tepi ka bisa baroga sorangan.
            “Euleuh-euleuh, Nēng Wulan ieu tēh ? Mani kalinglap. Kapungkur waktos dicandak ka dieu tēh nuju orok kēnēh, diaais ku Bi Ijah. Ayeuna ayeuna mani tos ageung kieu. Tos parawan. Tos waktosna, Juragan”, cenah bari ngalieuk ka Abah. Hidep mah ukur imut maur.
            “Enya puguh. Ieu gē rēk sakalian nēang piminantueun. Cenah urang Garut”
            “Ih, Abah mah comēl ah...”, hidep aluman-alimen bangun nu ēra.
 “Mangga atuh lalinggih, Juragan, Neng Wulan”, pamajikan Mang Emod ngajak asup ka jero imah.
“Ah moal waka, Bi. Hayang nempo heula kuburanna. Mang Emod tēh panyawah kuring pangsatiana. Geus aya likur taunna manguruskeun sawah kuring. Sakitu geus boga sawah sorangan gē, angger baē daēk ngurus sawah kuring. Kuring rēk mēnta dihampura, teu bisa mulang tarima kana kasatianna. Rumasa kuring jolēdar. Tambelar. Tepi ka maotna ogē teu bisa nungkulan dikurebkeun-dikurebkeun acan.” Ceuk Abah harita bari nghayukeun ka Mang Ruslan, nu kabeneran ngurunyung, mēnta dianteur ka pajaratan. Hidep mah teu milu. Dicarēk ku Abah. Da pajaratan tēh lumayan jauh. Jeung nanjak deuih. Ku Abah hidep dititah nungguan di saung bari ninggalian sawah jeung kebon urang anu dirus ku kulawarga Mang Emod tēa.
Aya dua kuburan anyar tēh, pagigir-ggir.taneuhna gē bareureum kēnēh. Tetenggerna tina kai, ditulisan Emod Mahmudin, lahir taun 1930, wafat 2 April 2005. Anu gigireunna, Ahmad Sudarma, SP, lahir 7 Maret 1980, wafat 2 April 2005. Anak Mang Emod, nu sakuduna jadi tuturus kulawarga neruskeun bapana. Abah ngadunga sangkan Mang Emod jeung Jang Ahmad ditampi iman islamna, dihapunten saniskara dosana, diperenahkeun di tempat nu mulya di sagēdēngeun panglinggihan Gusti Allah.
Balik ti pajaratan, kasampak hidep keur ngalangeu di saung. Nyawang Cikuray ti jauhna. Betah kawasna hidep tēh, dipēpēndē angin bari nyeuseup hawa pasawahan nu seger kēnēh can kaganggu ku polusi kawas di kota.
Urang tuluy muru imah kulawarga Mang Emod, anu ayeuna mah ukur dieusian ku pamajikanna sorangan, da teu boga deui budak. Kasampak, pamajikan Mang Emod geus nyayagikeun sangu jeung deungeunna. Saaya-aya, pokna tēh, padahal ceuk Abah mah jiga nu diaya-ayakeun. Gorēng lauk, gorēng hayam, gorēng tahu-tēmpē, kurupuk jeung sambel katut lalabna.
Teu kebat Abah nyiuk sangu tēh, basa nempo hidep kalah ngajengjen palebah lawang, bari mencrong potrēt anak Mang Emod anu keur diwisuda, anu ngagantung dina tēmbok gigireun lawang. Beungeut hidep pias, awak ngeleper, kēsang muruluk sakujur awak.
“Wulan, Geulis ... “, ceuk Abah bari nyampeurkeun hidep.
“A...a...a...Abaahh.....”, hidep ngocēak, tuluy ngagabrug nyuuh dina keukeupan Abah, nyalindung dina kanyaah kolot hiji-hijina. “Kk..Kang ... Kang Darma ...”, talaga wening nu salila ieu teu welēh jadi pangeunteungan giwangkara jeung purnama dina sapasang panon hidep, bedah sapada harita. Hidep ceurik balilihan bari nyambat ngaran Abah jeung ngaran bēbēnē, Darma. Abah ngahuleng. Pamajikan Mang Emod hookeun. Mang Ruslan teu lēmēk. Sarērēa teu ngarti kana kanyataan nu keur karandapan. Ceurik hidep mingkin tarik, dipungkas ku eueuriheun. Tuluy eureun. Hidep kapiuhan. Enya, hidep kapiuhan, teu inget di bumi alam. Ku Abah hidep dipangku, digolērkeun dina dipan di kamar jang Ahmad, aēh jang Darma.

***

“Wulan, Geulis, anaking ... naha hidep tēh bet luluasanan ? Atuh saha ayeuna nu rēk maturan Abah mēakkeun umur tēh ? Hidep anak Abah hiji-hijina, kalah ngantep Abah. Ngadon nyumput baē di kamar. Geura damang, bageur, geulis, anaking. Geura sēhat deui sabihara bihari. Geura ngariung deui jeung Abah, jeung bi Ijah. Tuh tinggal, Nini, Uwa, Bibi, Emang jeung dulur-dulur ogē babaturan hidep narungguan. Sok geura gugah, bageur... geura kaluar. Tong numpi baē di kamar”, sora Juragan Karta haroshos. Ngaharēwos ditompokeun kana ceuli Nēng Wulan anu ngalemprēh teu usik teu malik dina ranjang. Koma geus leuwih ti sabulan. Kandunganna nu karēk maju sapuluh minggu, kaguguran.

***

Jaladri Nu Sēah

Dina sēahna jaladri
Aya aweuhan sumanget nu ngalanglaung
Noēlan sakur jajantung jeung ketugna
Nu ngagimbung di tegalan kabingung.
Sēahna jaladri awor jeung sēor angin katigin
Ngangkleungkeun parahu kamotēkaran
Ka tengahing sagara cita-cita

Fachroe, sēahna jaladri lain sausumeun
Rēa kēnēh basisir nu can kasimbeuh
Loba kēnēh karang nu can kakeueum
Panjang kēnēh jaman nu can kaambah
Geuning panonpoē gē kawas nu taya kacapē
Nētēan wanci
Ngudag-ngudag bangkarak mangsa
Nu nyangheuy di tungtung kulon

Jaladri tēh kapan nu urang, Fachroe
Sēahna sakamalir jeung ketug jajantung


Juni 2009

Karumasa

bari jeung semu rumengkog, anjeun ngabedah
karumasa nu mangpirang purnama nayeum
na kokobak rasa
sakeclak
sakeclak
ungkara-ungkara dumareuda nyikaracak
tina seuseukeut teuteup
patēmbalan jeung harēwos impian
nu ngalakay kabawa angin

peuting teu leungiteun jempling
najan jaladri sēah na dada
silih sigeung jeung kikisik ati
nu ngampar sapanjang basisir pikir
basa anjeun ngabedah kacua
ka sakadang tresna nu teu daēk ingkah tina manah
ka sakadang sono nu pogot ngalēndotan
ka sakadang asih nu mingkin tigin
ka sakadang tineung nu kari bangkarakna

kapan geus parat anjeun nirukkeun asih kana galeuh ati
mangkeluk cidra kumelendang kēnēh geuning
ngagorogotan sajak-sajak romantis
jadi harēwos-harēwos ērotis
ngaririwaan angen-angen jeung sirung
harepan nu kakara renung
ngagadabah kasatiaan
nyēsakeun amarah nu ngagolak na kongkolak otak


*)
Dimuat dina Rubrik Budaya Kabar Priangan, Rebo, 23 Maret 2011

Nu Jaradi Korban

réa nu geus jaradi korban
kasawenangan kakawasaan
teu saeutik nu jaradi korban
katelengesan kasarakahan

nu leutik pating jarerit
nu héngkér pating kocéak

leungiteun
leungeun puntangeun
leungiteun
suku tuturkeuneun

saha nu baris jadi korban
kaégoisan kamunapékan


*)
Dijieun Lagu Thema Drama “Nu Jaradi Korban” Produksi Sangsetia SMAN 11 Garut.
Dimuat dina Rohang Sajak Radar Tasikmalaya, Minggu, 3 April 2011

Lalakon

ngalenyepan rēngkak jeung rēnghap
nu ngabarak dina saban padalisan mangsa
sawilet
sawilet
ngalakay nedunan papastēn
mumbul ka alak paul, ngēlēk nasib sēwang-sēwang
muru tungtung waktu nu can tēmbong bungkeuleukna

lambaran catetan nu karahaan
nu nembrak, nu nyamuni, nu nyaliwang
ririaban diayun ambing angin wanci

pirang-pirang lalakon
pirang-pirang papagon
pirang-pirang papalayon
pirang-pirang guguyon
pirang-pirang cipanon
pirang-pirang tandon
pirang-pirang layon
pating kalayang luhureun palalangon implengan
ngawang-ngawang ngajomantara di mēga malang
jadi reueuk, jadi angkeub, jadi girimis,
ngepriskeun karumasa kana sarakan rasa nu lawas saat

ras kana tangtungan nu wawayagon
ras kana kurungan nu teu pageuh tetekon
ras kana udagan nu mingkin jauh tina tatapakan
ras kana itungan nu teuing geus tepi ka mana teuing kari sakumaha.




*)
Dimuat dina Rubrik Budaya Kabar Priangan, Rebo, 23 Maret 2011, jeung
Rohang Sajak Radar Tasikmalaya, Minggu, 3 April 2011

Dongēng Sendal

Kawas sasari, unggal jumaah, mangpirang sendal ngalabring ka masigit. Sendal capit, sendal kulit, tarumpah, bakiak, malah sapatu gē aya. Dina golodog masigit maranēhna arandekak. Pasesedek. Silih sērēd. Silih jejek. Silih tindihan. Sawarēh laluncatan kana erak atawa loker di juru tēras masigit. Aya ogē nu kapaksa nyumput dina kantong kērēsēk lantaran keukeuh hayang abus ka masigit.

Mangsa lēptop ceuceuleuweungan ngagalindengkeun lohor, sendal dina golodog pating kocēak kapanasan. Nu arunggut-unggutan di jero masigit, teu ieuh surti, jajauheun ka miduli. Nu unggut-unggutan, horēng keur nundutan, dipēpēndē ku dongēng ahēng nu ditepikeun ku sakadang mikropon.

Tepi mangsana mulang, nu arunggut-unggutan katawuran. Paheula-heula muru sendal sēwang-sēwang. Tapi tētēla aya sendal nu geus leuwih tiheula mulang. Dijingjing teuing ku leungeun saha.

Nu Bedo Kawin

"Har, naha bet kitu geuning nyarita tēh, Euis ? Majar dēwēk teu nyaah ka manēh. Majar teu bogoh. Majar tēga. Majar dēwēk ngabohong. Ceuk saha ? Kapan karasa meureun ku manēh gē. Salila ieu, sakitu dagdag-dēgdēgna dēwēk ka manēh. Kurang kumaha dēwēk mērē perhatian. Da rarasaan mah geus ditamplokkeun kabēh. Sakur pamēnta, teu welēh ditedunan. Hayang ngojay dina lambak Pangandaran, laksana. Hayang milang bēntang ti puncer Manglayang, laksana. Ngajak nyaba ka kota tepi ka sarē di hotēl, laksana. Malah basa manēh walēh geus dua bulan teu kasēmahan gē, kapan dēwēk nu nganteur ka dokter kandungan. Bari ngawani-wani ngaku salaki manēh. Ku nyaah ka manēh deuih, sieun beuteung manēh kaburu ngagedēan, gura-giru dēwēk ngajak nu jadi kolot nepungan indung bapa manēh. Nanyaan. Enya, nanyaan manēh. Ngajak kawin. Manēh mah teu apal kumaha bungangangna hatē dēwēk basa manēh nyebut daēk. Atoh da puguh bogoh. Bungah da enya nyaah. Kari-kari ayeuna manēh bet nyarita kitu. Naha ?”, cipanon terus murubut dina pipi awēwē nu disebut Euis. “Pēdah dēwēk teu datang peuting tadi ? Pēdah urang teu tulus kawin ?”, Euis ngagukguk, bari ngagulanggapēr layon pisalakieunna.

Bulan

Manēhna kungsi boga cita-cita hayang jadi astronot. “Hayang nganjang ka bulan”, cenah. Hayang manggihan Nini Antēh jeung ucingna, nu remen didongēngkeun ku bapana.

Manēhna sok resep nyawang bulan tina jandēla kamarna. Neuteup anteb teu ngiceup-ngiceup. Mun kabeneran bongoh, bulan sok dirawēl ku manēhna. Bulan tumanggal. Bulan sapasi. Bulan parahu. Bulan mabra. Bulan surem. Hiji-hiji diampihan. Diēntēpan. Disimpen kalawan tarapti dina lomari. Teu paduli batur salembur ibur kaleungitan bulan unggal peuting.

Sakapeung, bulan dibalatakkeun di luhur ranjang. Bulan manēhna. Bulan tatangga. Bulan baraya. Bulan deungeun-deungeun. Piligenti bulan dibawa ulin. Dimandian. Dibajuan. Dibedakan. Diusapan. Dikeukeupan. Digalēntoran. Disarēan.

Kitu jeung kitu gawēna unggal peuting, ti saprak bapana remen unggah kana ranjangna, ngadon mihapēkeun bulan di jero beuteungna.

Tulisan Petingan